Perubahan Mental untuk Keberhasilan Pendidikan - Orihara Yuzuru

30 March 2014

Perubahan Mental untuk Keberhasilan Pendidikan

Perubahan Mental untuk Keberhasilan Pendidikan


Sudah puluhan tahun pendidikan kita mendapat nilai merah. Selama itu pula masyarakat mengeluh tentang rendahnya mutu pendidikan kita. Cukup banyak penyebab dikemukakan, seperti lemahnya pengabdian guru, melencengnya kebijakan sekolah dan terlalu besarnya campur tangan politik ke dalamnya, namun kenyataan bahwa masyarakat sendiri ikut ambil bagian, jarang sekali disebut.
Peranan masyarakat dalam memajukan pendidikan antara lain, kalau bukan yang paling ditonjolkan, berkaitan dengan persoalan dana. Selama ini, ada semacam kontroversi antara pihak kubu idealis pendidikan dengan kubu realis. Kubu idealis, kebanyakan anggotanya adalah warga masyarakat, mengatakan bahwa pendidikan sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah. Bagi masyarakat, pendidikan adalah hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah alias negara. Hal itu sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh UUD kita.
Sebaliknya, bagi kubu realis, yang banyak diwakili oleh penyelenggara pendidikan, khususnya swasta, pendidikan dewasa ini bukan lagi sepenuhnya persoalan pelayanan melainkan sudah berubah menjadi industri. Dengan lebih tegas, pendidikan kini telah bergeser menjadi industri jasa bukan lagi pelayanan sosial. Karena itu, untuk mendapatkan pendidikan yang baik, masyarakat juga harus bersedia keluar dana yang sepadan. Pendidikan yang baik memerlukan dana yang memadai.
Namun, kalu kita melihatnya lebih jauh, ternyata sikap masyarakat terhadap pendidikan sendiri masih bersifat rancu. Masyarakat menuntut pelayanan pendidikan berkualitas, tetapi kesiapan mereka mengeluarkan dana belum memadai. Kebanyakan, masyarakat kita masih berpegang pada pola pendidikan murah, sehingga enggan mengeluarkan dana sesuai dengan kebutuhan real proses pendidikan. Namun di lain waktu, ketika keadaan memaksa, masyarakat bersedia juga mengeluarkan biaya tinggi, bahkan tanpa ada jaminan layanan pendidikan berkualitas. Namun, kesediaan itu justru baru muncul ketika dalam keadaan terpepet.
Salah satu persoalan lain, di samping soal pendanaan, adalah sikap masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri. Kebanyakan masyarakat melihat pendidikan, utamanya, sebagai proses perolehan ijazah atau sertifikat, yang diperlukan siswa untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan kata lain, masyarakat kita lebih berorientasi pada aspek formal pendidikan ketimbang aspek substansial. Mereka merasa cukup puas dengan nilai, ijazah atau tanda kelulusan lain, ketimbang pada kemampuan dan pengetahuan yang diperoleh siswa. Mereka cukup puas dengan laporan hasil belajar yang disodorkan oleh sekolah, tanpa pernah berpikir bahwa laporan tersebut dibuat dan bisa dimanipulasi.
Bahkan, lebih memprihatinkan lagi adalah orientasi hasil akhir yang berlebihan akhirnya justru menghapuskan orientasi proses dan kualitas. Masyarakat hampir tidak pernah menyempatkan diri berbincang-bincang dengan anak-anak tentang proses belajar yang terjadi di sekolah. Mereka juga hampir tidak pernah mencoba mengetes sendiri, tentu saja dengan cara informal dan tidak terang-terangan, untuk mengetahui kualitas anak-anak mereka. Sebaliknya, apa yang mereka ingin tahu sebatas nilai yang dicapai anak-anak mereka.
Akibat selanjutnya, adalah munculnya mental instan. Mereka tidak mampu menghadapi kenyataan bahwa proses belajar memerlukan usaha keras di pihak anak-anak mereka, bukan hanya usaha keras pihak sekolah. Sebaliknya, mereka melihat keberhasilan proses belajar sepenuhnya ditentukan oleh sekolah, sehingga kalau terjadi hambatan sekolah yang harus dipersalahkan. Dengan demikian, mereka hanya bisa melihat bahwa jangka waktu belajar merupakan sesuatu yang bersifat pasti, sementara hambatan merupakan hal yang mereka tidak ingin tahu. Anak tidak naik kelas atau tidak lulus ujian merupakan hal yaang tidak wajar dan tidak mereka inginkan. Mereka hanya mau tahu anak-anak selalu naik setiap tahunnya dan lulus pada masa akhir pendidikan.
Bagaimana bila terjadi hambatan? Hambatan tersebut harus disingkirkan. Anak tidak naik kelas, status tidak naik harus dihilangkan dan dihentikan dengan status naik. Prosesnya? Harus cepat dan langsung beres. Bisa dimengerti apabila kecenderungan lulus dan naik seratus persen banyak meresapi jiwa penyelenggara sekolah. Di samping tidak menghendaki hambatan, masyarakat juga menghendaki penyingkiran hambatan dengan cepat dan mudah dengan bersedia mengeluarkan dana ekstra, bukan dana pendidikan, cukup tinggi.
Mental instan yang kini banyak merasuki masyarakat kita jelas perlu diubah kalau kita memang menghendaki perbaikan pendidikan. Kita harus bermental pendidikan secara penuh, artinya harus percaya dan mendukung proses pendidikan dan juga proses penyaringan objektif. Sikap masa bodoh harus kita ganti dengan sikap ikut memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap proses pendidikan di sekolah. Tanggung jawab paling penting adalah keterlibatan secara aktif sebagai pengamat, pendukung dan kritikus. Masyarakat memang fasilitator, tetapi fasilitator yang bersifat aktif dan konstruktif. Mereka mendukung pendidikan lewat dana, tetapi sambil melakukan kontrol dan memberikan masukan dan bantuan.
Tanpa perubahan mental masyarakat, pendidikan kita akan terus terkatung-katung.

Source:
Bali Post

No comments:

Post a Comment