Tahukah Kamu? 7 Hal yang Bisa Diteladani Dari Jepang
Related Article: Hal-Hal yang Membedakan Sifat Orang Indonesia dan Jepang
Traveling bagi saya bukan semata mencapai tempat yang dituju dan
kemudian menikmati keindahan alamnya. Berada di tempat baru yang asing
dan di tengah kehidupan masyarakat lokal tentu memaksa saya untuk
beradaptasi. Beradaptasi adalah berarti belajar tentang hal-hal baru,
tentang kebiasaan, peraturan, dan bersikap. Selama seminggu lebih berada
di Negeri Sakura, ada beberapa hal yang membuat saya ‘amazed’ dan
berandai ini semua bisa saya bawa pulang ke negeri saya. Hahaha.
1. Kebersihan
Jujur, saya merasa iri dengan kebersihan negara ini. Saya menempatkan kebersihan di tempat pertama yang harusnya bisa kita tiru. Karena paling sederhana dan gampang dilakukan, tidak membutuhkan biaya yang mahal hanya butuh kesadaran masing-masing orang. Jepang masuk dalam jajaran negara terbersih di dunia, dan sangat enak dipandang. Meskipun di Tokyo dan kota-kota lainnya di Jepang tidak pernah ada tulisan “Dilarang Buang Sampah di Sini”, sebagaimana yang sering ditemui di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia. Namun dipastikan tidak ada sampah yang tercecer sembarangan. Bahkan sampah sekecil sobekan kertaspun tak saya lihat di pinggir jalan. Mungkin budaya malu yang telah mendarah daging turut mendorong masyarakat Jepang untuk tidak membuang sampah sembarangan dan selalu berusaha hidup bersih. Seperti yang saya rasakan ketika menginap di hostel ala backpacker, meskipun kecil tapi sangat bersih, berasa rumah sendiri.
Tempat sampah selalu dipisahkan berdasarkan jenisnya, sampah sisa makanan, botol, plastik, dan koran bekas atau kertas. Saya pun kadang butuh waktu sejenak berpikir untuk meletakkan sampah ke keranjang yang mana. Malu kan kalau salah? Karena kalau sampai ada sampah yang salah masuk ke keranjang yang bukan kategorinya, katanya petugas sampah tidak akan mengambilnya.
Ini favorit saya selama di Jepang, yaitu transportasi yang nyaman. Transportasi umum memegang peranan penting untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain terutama bagi turis backpacker. Di ibukota Jepang, Tokyo, sebagai salah satu kota megapolitan dunia, jaringan kereta api adalah alat transportasi utamanya. Itulah sebabnya jalan raya menjadi lengang meskipun di jam-jam sibuk kantor, berbeda sekali ya dengan Jakarta?. Jepang memiliki jaringan kereta bawah tanah maupun layang yang sangat kompleks. Baik yang dioperatori oleh pemerintah maupun swasta. Seperti di Tokyo ini, jaringan kereta bawah tanah atau subway dioperatori oleh Tokyo Metro Subway dan Toei Subway. Meskipun berbeda namun saling terhubung dan tak perlu membeli tiket yang berbeda jika naik dan turun di stasiun yang berbeda operatornya.
Jaringan kereta api yang berada di atas permukaan tanah dioperasikan oleh Japan Rail (JR) milik pemerintah Jepang, yang kalau di Indonesia mirip seperti KRL Commuterline. Di sini namanya JR Yamanote Line. Kerennya tuh tidak ada lintasan kereta api yang bersinggungan sebidang dengan jalan raya. Jadi resiko kecelakaan lebih kecil kan?.
Yang membuat saya berdecak kagum juga adalah jadwal kereta yang tidak pernah telat sedetikpun. Ya, itu salah satu yang menjadi perhatian saya di sana, kalau lebih cepat dari jadwal justru ada. Karena meskipun kereta Subway maupun Yamanote line jumlahnya sangat banyak, tetap ada jadwal keberangkatan yang jelas. Bahkan kita bisa mengunduh aplikasi gratis di perangkat handphone kita berupa aplikasi Tokyo Subway Navigation, khusus subway di Tokyo. Alhamdulillah menggunakan bahasa Inggris dan praktis. Di aplikasi ini kita hanya memasukkan nama stasiun asal dan stasiun tujuan, kemudian keluarlah informasi berupa tarif tiket yang harus kita beli, stasiun transit (jika memang harus transit), estimasi waktu perjalanan dan jadwal keberangkatan kereta tercepat dari waktu kita mengakses aplikasi, bahkan semenit ke depan. Tarif kereta api di Jepang memang berlaku progresif sesuai dengan jarak tempuh.
Aplikasi kedua, yang sangat membantu ketika di Jepang adalah Hyperdia, bisa juga diakses melalui browser www.hyperdia.com. Semua informasi jadwal dan keberadaan jaringan kereta dan bis Jepang mulai dari JR Line, Limited Express maupun Shinkansen bisa diakses di sini, termasuk tarifnya. Keren yaaa?.
Keliling kota naik bis juga tak kalah aman dan nyaman, ini saya rekomendasikan jika Anda berada di kota Kyoto. Karena banyak banget bis yang menjangkau semua tempat wisata. Bis pasti berhenti di semua halte dan ada informasi yang memberitahu nama halte selanjutnya termasuk tempat penting apa yang ada di sekitar halte dalam bahasa Jepang dan Inggris. Meskipun tidak ada jalur khusus untuk bis di jalan raya, tapi tak ada bis yang saling menyalip, semua tertib dan teratur mengantri untuk berhenti di setiap halte. Dan yang saya suka adalah supirnya sangat ramah dan sabar menunggu penumpangnya naik maupun turun dan mengucapkan “Hai, arigato gozaimashita…” ke satu persatu penumpangnya yang turun.
3. Disiplin
Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, jadwal kereta dan bis sangat tepat waktu, begitulah mungkin cerminan orang Jepang yang begitu menghargai waktu. Ketidak tepatan sedetik akan berpengaruh terhadap jadwal selanjutnya, itu sangat dihindari oleh mereka. Budaya antri juga sudah melekat di Jepang, ketika naik eskalator misalnya, saat ramai otomatis terbentuk antrian tanpa saling serobot. Yang menarik, berdirilah di sebelah kiri jika Anda tidak terburu-buru dan hanya berdiri di eskalator untuk mempersilakan orang lain lewat di sebelah kanan. Tapi ini berlaku sebaliknya jika Anda sedang berada di kota Osaka, memang kelihatan aneh karena masih dalam satu negara tapi berbeda.
4. Keramahan (Omotenashi)
Saya kira adegan di salah satu episode Kokoro no Tomo ketika Si Tomo menanyakan alamat ke orang di jalan ketika baru sampai Jepang yang kemudian diantar sampai tujuan itu hanya mitos, adalah salah besar. Saat saya keluar dari stasiun Asakusa, dan mondar mandir kebingungan mencari alamat hostel, tetiba seorang bapak menghampiri dan bertanya dalam bahasa Inggris. Spontan saya sodorkan alamat yang saya cari, kemudian dia menyuruh kami untuk mengikutinya, dan sampailah saya pada hostel yang kami cari. Di akhir pertemuan kami, dia bilang, “Have a nice day…”. Saya tidak akan pernah melupakan momen itu, bahkan saya masih ingat muka ramah bapak yang tadi sempat bertanya tentang rencana perjalananku di Jepang. Itulah salah satu keramahan yang saya dapatkan di sana.
Ibu ini tiba-tiba menghampiriku yang mengambil gambar dagangannya, Cucumber Stick, kemudian berbicara banyak sekali dalam bahasa Jepang. Meskipun saya tidak mengerti dan cuma bisa senyum, saya mencoba bilang, “Watashi wa Indonesia kara kimashita”, kemudian saya arahkan kamera padanya yang dibalas dengan pose ini.
Seorang Indonesia yang saya temui di sana juga menceritakan hal yang sama, ketika dia kebingungan dan hanya bisa bertanya dalam bahasa Inggris. Sementara mayoritas orang Jepang tidak bisa berbahasa Inggris, namun ketika ditanya mereka berusaha untuk membantu.
5. Teknologi
Dalam hal teknologi, Jepang sudah tidak perlu diragukan. Hampir segala segi kehidupan sudah tersentuh dengan kecanggihan. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah etika teknologi jika dikaitkan dengan etika kehiduan sehari-hari. Misalnya toilet yang baru pernah saya temui di Jepang. Sebagai salah satu kebutuhan mendasar sebagai makhluk hidup, kenyamanan toilet sangat diperhatikan di Jepang. Jika pada umumnya kloset hanya dilengkapi dengan alat pembersih tubuh dan penyiram air, maka di Jepang akan lebih dari itu. Terdapat banyak tombol yang berada di samping kloset yang dapat digunakan untuk membersihkan tubuh saat Anda buang air kecil, buang air besar, dan alat pengering sekaligus layaknya hairdryer untuk kepala. Selain itu juga ada pilihan tombol yang mengeluarkan suara palsu yang menyerupai bunyi flush. Hmmm..menarik bukan? Orang Jepang juga terkenal suka menjaga tinggi privasi, makanya mereka malu jika suara yang terdengar waktu buang air terdengar orang lain, sehingga diciptakanlah toilet seperti ini.
6. Pelayanan Publik
Perhatian pemerintah Jepang terhadap fasilitas dan pelayanan publik patut ditiru. Dimulai dari pembangunan fasilitas umum sederhana, seperti trotoar yang sangat nyaman. Jalur pejalan kaki ini dibuat cukup lebar dan juga diperuntukkan bagi pengendara sepeda. Tak ada yang berlubang, bersih, dan dibuat hampir rata dengan jalan raya.
Hal lain juga saya rasakan ketika di stasiun, terminal dan bandara. Meskipun banyak yang mengantri, tidak pernah sampai terjadi antrian yang panjang. Pelayanan maksimal menjadi faktor utamanya. Sebagai turis asing saya pun merasa tidak mendapat perbedaan perlakuan. Masuk ke dalam objek wisata misalnya, ada beberapa yang memerlukan tiket masuk tapi harganya tidak dibedakan turis lokal maupun turis asing. Contoh lain adalah ketika saya hendak membeli Kanto Pass di stasiun Ueno, saya ingat benar kalau pelayannya tidak bisa berbahasa Inggris hanya bermodal brosur dia menjelaskan berapa jumlah yang harus saya bayar dan dokumen persyaratannya, maka saya pun langsung mendapat Kanto Pass. Dengan Kanto Pass ini para turis asing pemegang visa temporary visit bisa menggunakan seluruh kereta dalam jaringan JR Line meng-explore area Kanto (Tokyo dan sekitarnya) termasuk Shinkansen! Saya benar-benar merasa dimanjakan.
7. Dedikasi Tinggi Terhadap Pekerjaan
Saat naik kreta JR Line, saya beberapa kali berada di gerbong paling depan persis di belakang ruang masinis. Di ruang kendali, masinis tidak bertugas sendirian tapi ditemani seorang yang lain. Namun meskipun mereka bertugas bersama, tak sekalipun mereka terlihat mengobrol, si masinis terlihat begitu fokus mengendalikan laju kereta.
Begitu juga dengan supir bis, petugas stasiun, polisi yang saya lihat selalu serius dalam menjalankan tugas mereka dan memberikan pelayanan maksimal dan tidak ketinggalan untuk selalu tersenyum.
1. Kebersihan
Jujur, saya merasa iri dengan kebersihan negara ini. Saya menempatkan kebersihan di tempat pertama yang harusnya bisa kita tiru. Karena paling sederhana dan gampang dilakukan, tidak membutuhkan biaya yang mahal hanya butuh kesadaran masing-masing orang. Jepang masuk dalam jajaran negara terbersih di dunia, dan sangat enak dipandang. Meskipun di Tokyo dan kota-kota lainnya di Jepang tidak pernah ada tulisan “Dilarang Buang Sampah di Sini”, sebagaimana yang sering ditemui di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia. Namun dipastikan tidak ada sampah yang tercecer sembarangan. Bahkan sampah sekecil sobekan kertaspun tak saya lihat di pinggir jalan. Mungkin budaya malu yang telah mendarah daging turut mendorong masyarakat Jepang untuk tidak membuang sampah sembarangan dan selalu berusaha hidup bersih. Seperti yang saya rasakan ketika menginap di hostel ala backpacker, meskipun kecil tapi sangat bersih, berasa rumah sendiri.
Tempat sampah selalu dipisahkan berdasarkan jenisnya, sampah sisa makanan, botol, plastik, dan koran bekas atau kertas. Saya pun kadang butuh waktu sejenak berpikir untuk meletakkan sampah ke keranjang yang mana. Malu kan kalau salah? Karena kalau sampai ada sampah yang salah masuk ke keranjang yang bukan kategorinya, katanya petugas sampah tidak akan mengambilnya.
2. Transportasi Modern dan Teratur
Ini favorit saya selama di Jepang, yaitu transportasi yang nyaman. Transportasi umum memegang peranan penting untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain terutama bagi turis backpacker. Di ibukota Jepang, Tokyo, sebagai salah satu kota megapolitan dunia, jaringan kereta api adalah alat transportasi utamanya. Itulah sebabnya jalan raya menjadi lengang meskipun di jam-jam sibuk kantor, berbeda sekali ya dengan Jakarta?. Jepang memiliki jaringan kereta bawah tanah maupun layang yang sangat kompleks. Baik yang dioperatori oleh pemerintah maupun swasta. Seperti di Tokyo ini, jaringan kereta bawah tanah atau subway dioperatori oleh Tokyo Metro Subway dan Toei Subway. Meskipun berbeda namun saling terhubung dan tak perlu membeli tiket yang berbeda jika naik dan turun di stasiun yang berbeda operatornya.
Jaringan kereta api yang berada di atas permukaan tanah dioperasikan oleh Japan Rail (JR) milik pemerintah Jepang, yang kalau di Indonesia mirip seperti KRL Commuterline. Di sini namanya JR Yamanote Line. Kerennya tuh tidak ada lintasan kereta api yang bersinggungan sebidang dengan jalan raya. Jadi resiko kecelakaan lebih kecil kan?.
Kereta JR Yamanote Line yang akan berhenti di Stasiun Harajuku
Dua anak kecil ‘kawaii’ ini nampak bahagia bergaya di depan Shinkansen di Stasiun Tokyo
Yang membuat saya berdecak kagum juga adalah jadwal kereta yang tidak pernah telat sedetikpun. Ya, itu salah satu yang menjadi perhatian saya di sana, kalau lebih cepat dari jadwal justru ada. Karena meskipun kereta Subway maupun Yamanote line jumlahnya sangat banyak, tetap ada jadwal keberangkatan yang jelas. Bahkan kita bisa mengunduh aplikasi gratis di perangkat handphone kita berupa aplikasi Tokyo Subway Navigation, khusus subway di Tokyo. Alhamdulillah menggunakan bahasa Inggris dan praktis. Di aplikasi ini kita hanya memasukkan nama stasiun asal dan stasiun tujuan, kemudian keluarlah informasi berupa tarif tiket yang harus kita beli, stasiun transit (jika memang harus transit), estimasi waktu perjalanan dan jadwal keberangkatan kereta tercepat dari waktu kita mengakses aplikasi, bahkan semenit ke depan. Tarif kereta api di Jepang memang berlaku progresif sesuai dengan jarak tempuh.
Aplikasi kedua, yang sangat membantu ketika di Jepang adalah Hyperdia, bisa juga diakses melalui browser www.hyperdia.com. Semua informasi jadwal dan keberadaan jaringan kereta dan bis Jepang mulai dari JR Line, Limited Express maupun Shinkansen bisa diakses di sini, termasuk tarifnya. Keren yaaa?.
Keliling kota naik bis juga tak kalah aman dan nyaman, ini saya rekomendasikan jika Anda berada di kota Kyoto. Karena banyak banget bis yang menjangkau semua tempat wisata. Bis pasti berhenti di semua halte dan ada informasi yang memberitahu nama halte selanjutnya termasuk tempat penting apa yang ada di sekitar halte dalam bahasa Jepang dan Inggris. Meskipun tidak ada jalur khusus untuk bis di jalan raya, tapi tak ada bis yang saling menyalip, semua tertib dan teratur mengantri untuk berhenti di setiap halte. Dan yang saya suka adalah supirnya sangat ramah dan sabar menunggu penumpangnya naik maupun turun dan mengucapkan “Hai, arigato gozaimashita…” ke satu persatu penumpangnya yang turun.
3. Disiplin
Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, jadwal kereta dan bis sangat tepat waktu, begitulah mungkin cerminan orang Jepang yang begitu menghargai waktu. Ketidak tepatan sedetik akan berpengaruh terhadap jadwal selanjutnya, itu sangat dihindari oleh mereka. Budaya antri juga sudah melekat di Jepang, ketika naik eskalator misalnya, saat ramai otomatis terbentuk antrian tanpa saling serobot. Yang menarik, berdirilah di sebelah kiri jika Anda tidak terburu-buru dan hanya berdiri di eskalator untuk mempersilakan orang lain lewat di sebelah kanan. Tapi ini berlaku sebaliknya jika Anda sedang berada di kota Osaka, memang kelihatan aneh karena masih dalam satu negara tapi berbeda.
Gate masuk Stasiun Inari, Kyoto
Mengantri masuk kereta Shinkansen, meskipun di gerbong ‘unreserved seat’
tapi tidak ada yang ‘berebut masuk duluan’ demi mendapatkan kursi
Meskipun jalanan sepi kendaraan, jangan sekali-kali menyeberang jalan sebelum lampu tanda penyeberang jalan berwarna hijau ;-)
4. Keramahan (Omotenashi)
Saya kira adegan di salah satu episode Kokoro no Tomo ketika Si Tomo menanyakan alamat ke orang di jalan ketika baru sampai Jepang yang kemudian diantar sampai tujuan itu hanya mitos, adalah salah besar. Saat saya keluar dari stasiun Asakusa, dan mondar mandir kebingungan mencari alamat hostel, tetiba seorang bapak menghampiri dan bertanya dalam bahasa Inggris. Spontan saya sodorkan alamat yang saya cari, kemudian dia menyuruh kami untuk mengikutinya, dan sampailah saya pada hostel yang kami cari. Di akhir pertemuan kami, dia bilang, “Have a nice day…”. Saya tidak akan pernah melupakan momen itu, bahkan saya masih ingat muka ramah bapak yang tadi sempat bertanya tentang rencana perjalananku di Jepang. Itulah salah satu keramahan yang saya dapatkan di sana.
Ibu ini tiba-tiba menghampiriku yang mengambil gambar dagangannya, Cucumber Stick, kemudian berbicara banyak sekali dalam bahasa Jepang. Meskipun saya tidak mengerti dan cuma bisa senyum, saya mencoba bilang, “Watashi wa Indonesia kara kimashita”, kemudian saya arahkan kamera padanya yang dibalas dengan pose ini.
Seorang Indonesia yang saya temui di sana juga menceritakan hal yang sama, ketika dia kebingungan dan hanya bisa bertanya dalam bahasa Inggris. Sementara mayoritas orang Jepang tidak bisa berbahasa Inggris, namun ketika ditanya mereka berusaha untuk membantu.
5. Teknologi
Dalam hal teknologi, Jepang sudah tidak perlu diragukan. Hampir segala segi kehidupan sudah tersentuh dengan kecanggihan. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah etika teknologi jika dikaitkan dengan etika kehiduan sehari-hari. Misalnya toilet yang baru pernah saya temui di Jepang. Sebagai salah satu kebutuhan mendasar sebagai makhluk hidup, kenyamanan toilet sangat diperhatikan di Jepang. Jika pada umumnya kloset hanya dilengkapi dengan alat pembersih tubuh dan penyiram air, maka di Jepang akan lebih dari itu. Terdapat banyak tombol yang berada di samping kloset yang dapat digunakan untuk membersihkan tubuh saat Anda buang air kecil, buang air besar, dan alat pengering sekaligus layaknya hairdryer untuk kepala. Selain itu juga ada pilihan tombol yang mengeluarkan suara palsu yang menyerupai bunyi flush. Hmmm..menarik bukan? Orang Jepang juga terkenal suka menjaga tinggi privasi, makanya mereka malu jika suara yang terdengar waktu buang air terdengar orang lain, sehingga diciptakanlah toilet seperti ini.
Toilet modern di Bandara Haneda, Tokyo
6. Pelayanan Publik
Perhatian pemerintah Jepang terhadap fasilitas dan pelayanan publik patut ditiru. Dimulai dari pembangunan fasilitas umum sederhana, seperti trotoar yang sangat nyaman. Jalur pejalan kaki ini dibuat cukup lebar dan juga diperuntukkan bagi pengendara sepeda. Tak ada yang berlubang, bersih, dan dibuat hampir rata dengan jalan raya.
Trotoar dan halte bis di jalanan Tokyo
Hal lain juga saya rasakan ketika di stasiun, terminal dan bandara. Meskipun banyak yang mengantri, tidak pernah sampai terjadi antrian yang panjang. Pelayanan maksimal menjadi faktor utamanya. Sebagai turis asing saya pun merasa tidak mendapat perbedaan perlakuan. Masuk ke dalam objek wisata misalnya, ada beberapa yang memerlukan tiket masuk tapi harganya tidak dibedakan turis lokal maupun turis asing. Contoh lain adalah ketika saya hendak membeli Kanto Pass di stasiun Ueno, saya ingat benar kalau pelayannya tidak bisa berbahasa Inggris hanya bermodal brosur dia menjelaskan berapa jumlah yang harus saya bayar dan dokumen persyaratannya, maka saya pun langsung mendapat Kanto Pass. Dengan Kanto Pass ini para turis asing pemegang visa temporary visit bisa menggunakan seluruh kereta dalam jaringan JR Line meng-explore area Kanto (Tokyo dan sekitarnya) termasuk Shinkansen! Saya benar-benar merasa dimanjakan.
7. Dedikasi Tinggi Terhadap Pekerjaan
Saat naik kreta JR Line, saya beberapa kali berada di gerbong paling depan persis di belakang ruang masinis. Di ruang kendali, masinis tidak bertugas sendirian tapi ditemani seorang yang lain. Namun meskipun mereka bertugas bersama, tak sekalipun mereka terlihat mengobrol, si masinis terlihat begitu fokus mengendalikan laju kereta.
Begitu juga dengan supir bis, petugas stasiun, polisi yang saya lihat selalu serius dalam menjalankan tugas mereka dan memberikan pelayanan maksimal dan tidak ketinggalan untuk selalu tersenyum.
Polisi di Bandara Haneda
Kondektur bis malam Willer Express sedang memastikan jumlah penumpang
yang turun di Kyoto sebelum melanjutkan perjalanan ke Osaka
Kondektur kereta express.
Dia mengecek tiket setiap penumpang dan memastikan harganya sesuai
dengan stasiun tujuan, ataupun melayani pembayaran menggunakan kartu
elektronik. Uniknya, jika harga yang di tiket kurang, dia menerima
pembayaran tunai dan sudah menyediakan uang kembalian di kantong khusus.
Sumber:
No comments:
Post a Comment