Pemikiran Politik Tradisional Jawa Pada Era Soeharto - Orihara Yuzuru

06 February 2017

Pemikiran Politik Tradisional Jawa Pada Era Soeharto

Oleh Mukti S. Alam*)

Presiden Soeharto, Presiden ke-2 RI
Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia
Jawa adalah salah satu suku terbesar di Indonesia dengan persentase jumlah penduduk yang terbanyak di Indonesia. Kebudayaan Jawa telah menyebar luas ke berbagai penjuru Nusantara sejak jaman kerajaan Hindu – Budha yang diawali oleh kerajaan Medang yang memulai penyebaran pengaruh Jawa ke Bali. Proses penyebaran kebudayaan Jawa didukung oleh berbagai faktor, baik melalui jalur perdagangan, ekonomi, sosial budaya, dan politik. Salah satu proses penyebaran kebudayaan Jawa melalui jalur politik adalah pada era presiden Soeharto.

Politik Jawa di era presiden Soeharto dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia yang juga disebut dengan Jawanisasi. Istilah "Jawanisasi" digunakan untuk menggambarkan proses dimana etnis Jawa dan individu yang dijawakan, secara bertahap menjadi mayoritas dan tidak proporsional dari elit pemerintahan di era pasca-kemerdekaan Indonesia (Thornton, 1972: 5). Jawanisasi pertama yang terjadi di era presiden Soeharto adalah perubahan istilah dalam pembagian administrasi yang tidak akrab dengan beberapa kebudayaan di Indonesia (Thornton, 1972: 64) seperti Sumatera Barat (menggunakan istilah "nagari") dan Papua (menggunakan istilah "distrik"), contohnya adalah penggunaan istilah “Kabupaten”, “Kecamatan”, “Kelurahan”, “Desa”, dan “kampung”. Istilah-istilah tersebut masih digunakan sampai saat ini.

Berbagai aspek sosial politik juga dipengaruhi oleh politik Jawa yang diterapkan di era Soeharto. Dalam bidang politik, Soeharto menerapkan konsep kekuasaan yang mirip dengan konsep kekuasaan Jawa. Menurut Anderson (1990: 22), Politik Jawa mempunyai ciri khasnya antara lain; Kekuasaan bersifat konkret, Kekuatan yang bersifat homogen, Kuantum kekuasaan di alam semesta adalah konstan, Kekuasaan tidak menimbulkan pertanyaan atas legitimasi. Budaya politik Indonesia saat itu sangat dipengaruhi oleh budaya politik Jawa yang dipengaruhi oleh latar belakang Soeharto yang berasal dari kebudayaan Jawa yang sangat kental. Budaya politik Jawa sering dianggap negatif oleh sebagian kalangan karena mengandung unsur-unsur terburuk dari budaya Jawa, seperti kekakuan hierarki sosial, otoritarianisme, dan kesewenang-wenangan. Sebuah kecenderungan yang kadang-kadang disebut sebagai "Mataramisasi" dan "feodalisasi", disertai dengan kegemaran memamerkan status sosial dan keangkuhan, suatu penggambaran sisi negatif khas priyayi yang kerap berperilaku selayaknya golongan Jawa kelas atas (Mulder, 2005: 53).

Sistem patronase di masa kepemimpinan Soeharto terdiri dari orang-orang yang cukup dekat dengannya. Kita dapat melihat keterampilan Soeharto dalam membangun dan memelihara mesin patronase yang rumit dan memastikan bahwa pelaku dalam Orde Baru secara terkompromikan dan berutang budi kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang manuver politik. Hal ini dicapai melalui pembagian uang minyak secara profesional yang dikelola oleh Ibnu Sutowo, dan melalui alokasi piawai peluang-peluang bisnis (Elson, 2005: 590). Ketika mereka yang tidak puas akan kebijakan dan kepemimpinannya yang kemungkinan akan menjadi masalah baginya, mereka pelan-pelan digeser ke bidang-bidang yang memberikan status serta peluang bisnis yang sulit mereka tolak. Dalam hal ini, dapat kita hubungkan dengan salah satu budaya Jawa yakni belantik (dagang sapi) yang sebetulnya budaya ini adalah budaya tawar menawar agar terjadi kesepakatan (harmonisasi) (Endraswara, 2003: 158). Namun budaya ini telah disalahartikan dengan tawar menawar jual beli kekuasaan.

Kesimpulan


Pemikiran kebudayaan Jawa, yang mempunyai arti bentuk pengabdian seorang bawahan kepada atasannya telah disalahgunakan dalam era Soeharto. Seorang bawahan yang taat dan patuh kepada atasannya namun dipergunakan untuk kepentingan pribadi. Bila dilihat dari teori kekuasaan, kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sehingga tingkah laku orang tersebut akan mengikuti orang yang mempengaruhinya. Kekuasaan merupakan upaya untuk mencapai tujuan atau kepentingan kolektif dengan cara membuat keputusan yang mengikat. Korupsi di era Soeharto yang menekankan pada kepentingan kolektif adalah ciri politik era Soeharto, ciri yang sangat dekat dengan kolusi dan upeti.

Pemimpin dalam suatu negara dapat dikatakan seperti raja. Raja dalam konteks pemikiran Tradisionalisme Jawa, memiliki kekuasaan yang terpusat padanya. Sama halnya di era Soeharto dimana ia menjadi presiden Republik Indonesia, ia memiliki kekuasaan yang dapat dikatakan hampir tiada batas. Namun, di dalam pemikiran Jawa, kekuasaan tersebut harus diimbangi oleh sikap-sikap yang berbudi luhur, mulia, adil dan penuh kasih sayang. Hal inilah yang dilupakan oleh Soeharto ketika ia berkuasa.

Daftar Pustaka


  • Anderson, Benedict R. O'G., 1990, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, New York: Cornell University
  • Elson, Robert Edward., 2005, Suharto: Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Minda Utama
  • Endraswara, Suwardi., 2003, Falsafah Hidup Jawa, Yogyakarta: Cakrawala
  • Mulder, Niels., 2005, Chapter 3. Javanization, Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java, Yogyakarta: Kanisius.
  • Thornton, David Leonard, 1972, The Javanization of Indonesian politics, Washington D.C: The University of British Columbia

*) Penulis adalah seorang mahasiswa aktif yang kini mengambil studi S1 di Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

No comments:

Post a Comment