Mengevaluasi Problematika Ajang Pesta Demokrasi Daerah - Orihara Yuzuru

22 April 2017

Mengevaluasi Problematika Ajang Pesta Demokrasi Daerah

Mengevaluasi Problematika Ajang Pesta Demokrasi Daerah

Oleh Mukti S. Alam*)

Artikel ini merupakan artikel yang pernah digunakan olehnya untuk keperluan tugas dalam mata kuliah Politik Pemerintahan Lokal di Jurusan S1 Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya.

Pemungutan suara
Pemilihan umum kepala daerah adalah salah satu bentuk perwujudan demokrasi di tingkat daerah di Indonesia. Dalam pemilihan umum kepala daerah atau pilkada terdapat sebuah proses pergantian elemen eksekutif yang terjadi secara lokal di suatu daerah, baik pilkada di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Pelaksanaan pilkada sering kali menuai kesuksesan namun tidak jarang juga menimbulkan permasalahan yang muncul di hampir semua proses pilkada. Ada banyak permasalahan yang terjadi dalam pemilihan umum kepala daerah, antara lain. Daftar Pemilih Tetap (DPT), Kampanye hitam dan kampanye negatif, sentimen dan isu SARA, politik uang, kecurangan dalam proses pemungutan suara, ketidaksiapan pasangan calon untuk menerima kemenangan dan kekalahan dalam pemilu daerah, sengketa pilkada, dan penyelesaian pelanggaran dan sengketa pilkada. Permasalahan yang kerap kali terjadi ini bisa menjadi sebuah masukan kepada penyelenggara pemilu untuk bahan evaluasi untuk pemilu yang lebih baik di kemudian hari.

Daftar pemilih tetap atau yang biasa disingkat DPT adalah sebuah daftar yang berisi data para penduduk di daerah setempat yang telah memiliki hak untuk menyalurkan suara pada pilkada di suatu daerah. Sebelum menyusun DPT, penyelenggara pilkada akan menyusun daftar pemilih sementara (DPS) dari DPT yang ada di pemilu sebelumnya. Dari data di dalam DPS akan diperbarui dengan mencocokkan data dari instansi pemerintahan yang mengurus administrasi kependudukan  dan pengecekan dengan cara survei langsung di lapangan yang pada akhirnya akan memperbaiki data yang ada dalam DPS untuk menjadi DPT. Masalah yang muncul adalah ketidakcocokan data di DPT dengan kenyataan di lapangan antara lain adanya calon pemilih yang telah meninggal dunia atau telah berpindah tempat ke luar daerah namun masih tercatat dalam DPT, dan adanya calon pemilih yang merupakan penduduk asli di daerah tersebut, pemilih pemula yang baru mendapatkan hak pilih atau penduduk pendatang yang telah selesai urusan administrasinya yang justru tidak tercatat dalam DPT. Masalah DPT merupakan masalah klasik dalam administrasi penyelenggara pemilu yang masih belum selesai sampai sekarang. Salah satu contoh nyata dalam kasus ini adalah penulis esai ini yang hampir kehilangan hak suara dalam Pemilihan Walikota Surabaya tahun 2015 hanya karena nama penulis tidak tercantum dalam DPT.

Proses kampanye adalah sebuah proses dalam pemilihan umum yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada para calon kepala daerah untuk memberikan visi-misi, program-program politik, dan janji-janji kampanye. Kampanye dapat disampaikan dengan berbagai cara, baik kampanye dengan cara yang jujur maupun dengan cara yang tidak jujur. Salah satu kampanye yang tidak jujur adalah kampanye hitam dan kampanye negatif. Kampanye hitam adalah sebuah kampanye yang dilancarkan dengan menggunakan metode rayuan yang merusak, sindiran, isu, fitnah atau rumor para calon kepala daerah lain kepada masyarakat tanpa disertai dengan data dan fakta yang telah ada agar menimbulkan persepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam hal kebijakan publik. Kampanye negatif sama dengan kampanye hitam, namun kampanye negatif menyertakan data dan fakta untuk menjatuhkan calon kepala daerah lainnya. Kedua kampanye itu sama-sama bertujuan untuk meningkatkan elektabilitas calon kepala daerah dengan cara menjatuhkan para calon kepala daerah lainnya. Kampanye tersebut sangat jelas merusak independensi calon pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Aspek yang paling sering digunakan untuk kampanye negatif dan kampanye hitam salah satunya adalah sentimen kesukuan, agama, jenis ras, dan golongan bagian masyarakat atau isu SARA. Salah satu contoh krusialnya adalah pemilihan gubernur Provinsi DKI Jakarta tahun 2017 yang sarat akan isu agama antara calon petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan berbagai ormas Islam radikal di mana ormas tersebut “melarang” para calon pemilih untuk memilih calon pemimpin dengan latar belakang agama dan suku yang berbeda.

Politik uang juga menjadi masalah dalam pemilihan umum di mana politik uang bertujuan untuk mengarahkan calon pemilih untuk memilih calon kepala daerah tertentu dengan cara yang sangat instan yaitu dengan cara pemberian sejumlah benda atau uang. Politik uang sering kali dilihat sebagai cara cepat untuk mengarahkan calon pemilih untuk memilih calon kepala daerah tertentu tanpa harus bersusah payah berkampanye. Aksi ini bisa dilakukan oleh tim sukses, simpatisan calon atau partai, ataupun dalam kasus yang sangat ekstrem melibatkan penyelenggara pemilu itu sendiri. Metode yang digunakan untuk politik uang antara lain pembagian barang atau uang pada saat kampanye, pemberian gratifikasi kepada calon pemilih, maupun dengan “serangan fajar” yang dilakukan di waktu pagi sebelum pemungutan suara berlangsung. Dengan adanya politik uang, para calon pemilih akan memilih calon kepala daerahnya bukan karena visi-misi, program kerja dan janji kampanye yang disampaikan, namun karena calon tersebut telah memberikan uang kepadanya. Untuk melawan praktek politik uang bisa dilakukan dengan cara sosialisasi tentang bahaya politik uang dari penyelenggara pemilu kepada para calon pemilih dan himbauan kepada calon kepala daerah beserta tim sukses dan simpatisannya.

Kecurangan dapat terjadi dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, baik yang dilakukan oleh para pemilih, panitia pemungutan suara, penyelenggara pemilu, para calon kepala daerah, tim sukses salah satu calon kepala daerah ataupun para elit politik. Bentuk kecurangan dalam proses pemungutan antara lain pengarahan calon pemilih dengan cara membisikkan pilihan kepala daerah di dekat bilik suara, dan pemungutan suara lebih dari satu suara dari satu orang. Sedangkan dalam proses penghitungan suara antara lain penggelembungan suara, pengurangan suara, dan manipulasi hasil perhitungan suara dari tingkat TPS sampai tingkat tertinggi. Kecurangan ini dapat menimbulkan perselisihan hasil dan dapat berujung menjadi sengketa pemilu jika tidak segera diatasi. Salah satu cara untuk mengurangi kecurangan ini adalah dengan cara peningkatan pengawasan proses pemungutan dan penghitungan suara oleh rakyat dan pihak-pihak independen.

Pemilihan umum kepala daerah menjadi salah satu dari bagian penting dalam proses demokrasi di daerah. Keterbukaan dalam proses pemilihan umum dan peran aktif masyarakat dalam pengawasan pada proses pemilihan umum kepala daerah berakibat pada kualitas demokrasi suatu daerah yang meningkat. Pemilihan umum kepala daerah yang berkualitas dapat menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas juga. Meskipun pada penerapannya sering menimbulkan masalah, namun kedewasaan berdemokrasi dari segala elemen yang terlibat secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

*) Penulis adalah seorang mahasiswa aktif yang kini mengambil studi S1 di Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

No comments:

Post a Comment